Saatnya Indonesia Bebas Buta Aksara

"PBH harus dilaksanakan secara sinergis dengan upaya mendorong kesadaran membangun sektor produktif, misalnya melalui gerakan pembangunan sektor riil".

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Jurnal Nasional (Jurnas), Sabtu 13 September 2008
Menurut data BPS (2007), dari total penduduk sebanyak 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8 persen dan perempuan 12,3 persen, dengan penyebaran di perkotaan 4,9 persen, dan perdesaan 12,2 persen. Dari jumlah itu, Pulau Jawa merupakan penyumbang terbesar dengan perincian Jawa Timur di peringkat pertama (10,47%), Jawa Tengah (9,42%) dan Jawa Barat.
Buta huruf merupakan keadaan di mana orang tidak mampu membaca dan menulis. Padahal, kedua hal tersebut merupakan jendela untuk melihat dunia. Artinya, jika orang bisa membaca, maka dia melihat dunia baru dan segala perkembangannya, termasuk iptek. Lebih dari itu, orang yang mampu membaca akan mengembangkan kompetensinya, karena wawasannya bertambah, entah lewat akses internet, membaca koran atau majalah.
Sebaliknya, orang yang buta huruf, akan melihat dunia dengan sempit, karena informasi yang diterimanya sangat sedikit. Akibat informasi yang kurang, orang menjadi bodoh dan miskin. Maka, wajar jika tingginya angka buta huruf di Indonesia, berbanding lurus dengan tingginya angka kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Itu dapat dilihat dari data BPS (2008) yang menyebutkan bahwa penduduk miskin mencapai mencapai 41,1 juta jiwa, atau naik sekitar 4,7 juta jiwa dibanding tahun 2007, yang hanya 37,2 juta jiwa.
Sementara, menurut data laporan UNDP (2008), posisi Human Development Index (HDI) atau index pembangunan manusia Indonesia, berada di ranking 108 dari 177 negara. Posisi itu lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (61), Thailand (74), dan Filipina (84). Sementara, kemampuan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia pada urutan ke-46 dari 47 negara yang disurvei.
Tambal Sulam
Pemerintah, sebenarnya tidak tinggal diam menyikapi persoalan buta huruf. Sejak tahun 1945 melalui bagian pendidikan masyarakat, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, pemerintah melakukan gerakan melek huruf, yang dikenal dengan nama Pemberantasan Buta Huruf (PBH) atau Kursus ABC.
Selanjutnya, pada tahun 1951 pemerintah menyusun rencana Sepuluh Tahun PBH, dengan harapan buta huruf akan selesai dalam jangka waktu 10 tahun. Sayangnya, hingga akhir 1960 masih terdapat sekitar 40 persen orang dewasa yang buta huruf. Keadaan itu membuat gerah Presiden Sukarno, dan pada tahun itu juga presiden mengeluarkan komando untuk menuntaskan buta huruf sampai 1964. Dengan komando itu, diharapkan pada akhir 1964 penduduk Indonesia usia 13-45 tahun telah bebas buta huruf, kecuali di Irian Barat (sekarang Papua). Karena tidak ada program tindak lanjut, langkanya bahan bacaan, dan semakin banyaknya anak usia SD (6-12 tahun) yang tidak sekolah, persoalan buta aksara muncul kembali.
Pada tahun 1966, digulirkan kembali PBH fungsional. PBH saat itu dibagi dalam tiga tahapan: PBH permulaan, PBH lanjutan I, dan PBH lanjutan II. Bahan belajar PBH permulaan menggunakan buku kecil "Petani Belajar Membaca" yang diselesaikan antara 20-30 hari. Selanjutnya, mulai 1970-an dirintis program kejar Paket A, yaitu program PBH dengan menggunakan bahan belajar Paket A yang terdiri atas Paket A1 sampai A100. Hingga tahun 1995, program PBH masih terus dilakukan di sembilan provinsi dengan memperbaiki sistem pelatihan, metodologi pembelajaran, dan sistem penyelenggaraannya.

Musuh Bersama
Pertanyaannya kemudian, mengapa program PBH tidak bisa efektif menekan jumlah pengidap buta huruf? Jika kita cermati dengan seksama, ketidakberhasilan program PBH itu, disebabkan beberapa hal. Pertama, tahap-tahap program yang dilakukan tidak pernah tuntas atau serta sekadar tambal sulam. Itu dapat dilihat dari budaya ganti rezim, ganti pula programnya, sehingga menimbulkan diskontiunitas. Kedua, masing-masing komponen tidak bekerja secara sinergis dan dengan visi yang sama. Akibatnya, program tidak bisa berjalan efektif, karena tidak jelas ujung pangkalnya.
Tampaknya, strategi PBH yang selama ini dilakukan harus diperbaiki. Di samping harus paralel dengan pemberdayaan masyarakat, PBH harus dilaksanakan secara sinergis dengan upaya mendorong kesadaran membangun sektor produktif, misalnya melalui gerakan pembangunan sektor riil. Selain itu, pihak-pihak atau komponen yang dilibatkan harus melepas tujuan individu atau kelompok, dan selanjutnya menjadikan buta aksara sebagai musuh bersama yang harus diperangi seluruh bangsa.
Strategi itu, memiliki kesesuaian dengan langkah Presiden SBY, khususnya dalam Inpres No 5 Tahun 2006. Inpres ini di antaranya berisi pernyataan bahwa pemberantasan buta aksara dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan, mulai dari presiden, menteri terkait, gubernur, wali kota/bupati, camat, sampai kepala desa. Sedangkan pendekatan horizontal dilakukan dengan melibatkan berbagai ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.
Upaya jitu yang tertuang dalam impres itu, harus didukung semua pihak. Perusahaan-perusahaan besar, harus menyisihkan sebagian penghasilannya untuk kegiatan corporate social responsibility (CSR). Anggaran yang terkumpul, bisa digunakan untuk kegiatan pelatihan, perekrutan relawan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka inilah yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan program PBH.
Selanjutnya, masing-masing komponen harus selalu berkomunikasi secara transparan dan akuntabel, sampai sejauh mana program telah dilaksanakan. Dengan sistem itu, efektivitas program PBH bisa dicermati dan terus dipantau perkembangannya. Pada akhirnya, bangsa ini harus bersatu-padu melawan buta aksara sebagai musuh bersama, agar memiliki kembali kredibilitas dan nilai tawar dalam hubungan internasional.[] Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Kemitraan ASEAN di Era Global

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Pembaruan, Edisi 6 Agustus 2008
Sebentar lagi kita akan memperingati genap 41 tahun berdirinya ASEAN. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, ASEAN mestinya sudah mampu mewujudkan cita-cita para founding father, khususnya menyangkut kerja sama bilateral yang menguntungkan anggotanya. Harapan itulah yang disandarkan pada peringatan ulang tahun kali ini.Pertanyaannya kemudian, apakah ASEAN benar-benar menjadi rumah yang nyaman sekaligus menguntungkan bagi anggotanya? Ini menjadi bahan renungan para pemangku kebijakan, jangan sampai ASEAN hanya menjadi penindas anggotanya.Harus diakui, kawasan ASEAN dengan penduduk sekitar 580 juta, merupakan pasar potensial yang selalu diincar para investor dan korporasi-korporasi besar dunia. Tentu saja demi keuntungan finansial dan ekspansi produk-produk industrinya. Itu dapat kita lihat dengan berbagai produk Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, India, Amerika Serikat, dan sebagainya menyerbu Asia Tenggara.Tidak dimungkiri, ASEAN bersama Tiongkok, India, dan Korea Selatan, selangkah lebih maju. Kemajuan ASEAN ini, kata Kishore Mahbubani (2008), lantaran berhasil menerapkan tujuh pilar kebijakan dunia Barat, yang salah satunya adalah meritokrasi, dan menghapus dominasi budaya feodal. Tiongkok dan India bahkan selangkah lebih maju, karena berhasil mengerahkan ratusan juta penduduk yang cerdas untuk membangun negerinya.Sepertinya, globalisasi yang lahir dari belahan dunia barat (Amerika), menjadi sebuah imperium yang tidak satu negara pun mampu mengelakkannya. Kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, beroperasinya institusi-institusi internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, dan mekanisme pasar bebas dengan organisasi perdagangan dunianya, telah mendorong globalisasi secara masif dan ekstensif ke berbagai penjuru dunia.Dalam konteks itu, hegemoni negara-negara adikuasa semakin terasa mengimpit negara berkembang dan menempatkannya pada posisi tidak menguntungkan. Demikian halnya dengan negara-negara di kawasan ASEAN.Monopoli negara adikuasa, tulis Samir Amin (1997), meliputi bidang teknologi, kontrol finansial terhadap pasar-pasar keuangan seluruh dunia, akses terhadap sumber daya alam, media massa dan komunikasi, serta monopoli senjata pemusnah massal. Monopoli ini juga menentukan kerangka kerja hukum beroperasinya nilai-nilai yang diglobalisasikan. Jika dicermati dengan seksama, globalisasi tidak memiliki muatan positif dan berharga bagi negara-negara berkembang.Pertanyaannya, siapa yang sering mengambil keuntungan dari globalisasi yang banyak menimbulkan ketidakseimbangan tersebut? Bagi para penganjurnya, kata Joseph Stiglitz (2002), globalisasi -yang secara tipikal diasosiasikan dengan penerimaan kapitalisme unggul gaya Amerika- adalah sebuah kemajuan. Sementara negara-negara berkembang harus menerimanya jika ingin tetap tumbuh dan memerangi kemiskinan secara efektif.Ancaman globalisasi jika tidak ditangkap secara arif oleh ASEAN bisa meruntuhkan sendi-sendi kemitraan dan solidaritas yang telah lama terbangun. Memang dalam perkembangannya ASEAN telah membentuk mekanisme ASEAN Plus Three bersama Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan; East Asia Summit (EAS) hingga memiliki 11 mitra wicara, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Jepang, dan Tiongkok, yang merupakan pemain-pemain besar. Setidaknya dengan jalinan yang erat tersebut ASEAN mampu menangkal hegemoni globalisasi.Selain itu, dibentuknya Forum Regional ASEAN (ARF) menjadi bukti bahwa ASEAN mampu menjadi driving seat dalam proses regional. Artinya, selama 40 tahun ke depan ASEAN bukan hanya mampu bertahan, tetapi terus berkembang sebagai organisasi regional yang makin efektif dan mampu menciptakan stabilitas politik, keamanan, dan sosial.
Saling Berbagi
Langkah ASEAN mendirikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) dalam KTT ke-12 di Cebu, Filipina, Januari 2007, sejatinya merupakan ide kreatif guna menyikapi persaingan ekonomi dari India dan Tiongkok. Lebih dari itu, bertujuan melindungi kepentingan bersama sejumlah negara di kawasan tertentu dan sebagai upaya untuk mempertegas arah ASEAN, sebagaimana amanat Bali Concord II (2003).Pada aspek ekonomi, pendirian AEC juga berupaya membangun kerja sama perdagangan, investasi, dan meningkatkan mobilitas aktivitas ekonomi, yang meliputi sektor elektronik, pariwisata, otomotif, tekstil, perikanan, pertanian, teknologi informasi, teknologi kesehatan, dan usaha berbahan dasar kayu.Saat ini, ASEAN harus mampu mengentaskan pekerjaan pelik dan mendesaknya, serta harus mampu menjembatani perbedaan esensial dan konflik internal yang melanda anggotanya.Misalnya, dalam kasus TKI Indonesia yang bekerja di Malaysia, pemerintah Malaysia terkesan masa bodoh dan tak mau tahu, sehingga berbagai kasus pelanggaran hukum yang dilakukan para majikan (warga Malaysia) dibiarkan begitu saja. Tetapi, giliran TKI kita yang salah mereka segera memproses secara hukum.Persoalan pengentasan kemiskinan yang mendera sejumlah besar anggotanya, penanggulangan bencana alam bersama, penuntasan kasus korupsi, supremasi dan perlindungan hukum bagi para tenaga kerja, harus segera diwujudkan lewat langkah nyata. ASEAN juga harus mampu meredam persoalan persaingan masing-masing anggotanya.Tidak kalah pentingnya, ASEAN harus mampu memberikan solusi atas problem individualitas anggotanya, yang tidak ingin otoritas dan ke-daulatannya diatasi sebuah sistem. []
Penulis adalah Peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta